Petang itu kembali aku terjebak dalam kubangan
hujan berulang. Satu hujan yang datang bersama ribuan temannya,
membawakan basah di raga pun di rasa. Membawaku berhenti menyibak
jalanan basah dan menanti reda. Berbaur dengan beberapa objek yang
sepertinya tidak sekedar menantikan reda, tapi juga menikmati teh,
menikmati kopi, menikmati musik, dan menikmati ritual obrolan mereka,
tak memperdulikan entah di luar hujan entah tidak.
Aku sendiri menikmati atmosfer yang kuanggap asing,
bukan karena aku tersesat di sini, karena sebelumnya aku sama sekali
tak berencana menyambangi tempat ini. Semuanya karena hujan.
Mendadak indera dengarku menangkap dengar nada
dering gitar klasik dari laki-laki di meja sebelah, serupa nadamu, tapi
bukan kamu yang di sini.
Sedetik kemudian, netraku tersangkut pada
pengunjung lain yang menyambangi temannya, dia berambut sangat ikal dan
tak begitu hitam, nyaris serupa, tapi bukan kamu. Di sisi lain ada objek
yang menggariskan senyum dengan guratan-guratan serupa punyamu, tapi
itu juga bukan kamu.
Kutarik dalam-dalam wajahku, lari dari banyak
sketsa yang dibentuk netra, kembali kudengar sayup-sayup suara,
membicarakan opera, pementasan, drama, sastra.. serupa bahasanmu, tapi
di sana tidak ada dirimu.
Lalu kudengar lagi, banyak suara yang
memperdebatkan situs di dunia maya, ah sepertinya kemarin kau pernah
memperdebatkannya juga.
Aku tak bersamamu, aku tak pernah benar-benar
bersamamu, tapi entah karena jimat punya siapa sehingga selalu saja
terbangun interaksi yang melibatkanku, melibatkanmu. Anggap saja petang
itu hujan yang membelahmu menjadi bermacam-macam rupa, menemaniku
menunggu reda. Untukku tela’ah, seberapa dalam artimu dalam belahan
rupa-rupa hujan.
Aku tahu sekali apa itu arti semu, aku menemukan maknanya benar-benar karena sekali lagi aku melibatkanmu.
Aku menanti reda, kemudian pergi dari tempat yang membelahmu menjadi berupa-rupa ini.
Berharap menemukanmu di depan pintu…